Di negeri ini, kalau anak hilang sebentar saja dari pengawasan, langsung dibilang “diculik jin.” Padahal faktanya, si anak cuma main ke rumah tetangga sambil makan ciki.
Tapi ya begitulah, menyalahkan makhluk tak kasat mata itu jauh lebih gampang daripada mengakui: orang tuanya ngopi sambil scroll TikTok, lupa jagain. Jin jadi kambing hitam, padahal dia juga mungkin udah pensiun dari urusan culik-culik sejak Orde Lama.
Lalu kalau ada yang dagangannya sepi, bukan karena rasa baksonya hambar atau pelayanannya jutek, tapi karena “tetangga main pesugihan.” Lha, kan lebih mudah nuduh orang lain pakai tuyul daripada belajar bikin branding atau promo di Instagram.
Padahal mungkin rejeki lagi mampet karena tiap pagi bukanya kesiangan. Tapi ya memang, mitos itu kadang lebih enak dicerna daripada realita yang pahit kayak kopi robusta tanpa gula.
Cerita soal diguna-guna juga menarik. Biasanya korban bilang: “Aku nggak tahu kenapa, tiba-tiba suka banget sama dia.” Padahal usianya udah 45 dan baru gajian, ya jelaslah gampang baper.
Itu bukan pelet, itu puber kedua. Daripada konsultasi ke dukun, mending cek saldo rekening dulu, siapa tahu lagi pengin dimanja tapi lupa caranya. Pelet itu mitos, yang nyata itu hormon dan rasa sepi yang nggak sempat disapa.
Jadi, kalau hidupmu terasa aneh, jangan buru-buru nuduh jin, pesugihan, atau pelet. Mungkin kamu cuma lagi malas, iri, atau kesepian—dan itu manusiawi. Mari perbarui kamus mitos kita, bukan buat menghapus budaya, tapi supaya lebih jujur pada diri sendiri.
Karena jin pun mungkin sedang menulis blog tentang manusia yang terlalu sering menyalahkannya.
#MitosIndonesia #KamusMitosModern #Pesugihan #Pelet #JinCuti #HumorRecehTapiNyentil #FaktaVsMitos
Komentar