Di negeri ini, gelar bisa datang dari banyak arah: dari bangku sekolah, dari pesantren, dari garis darah, bahkan dari lamunan. Yang satu ini, istimewa. Disebut "Habib", seolah seketika jadi lisensi moral, penghapus dosa, dan tiket VIP menuju langit ketujuh.
Tapi benarkah semudah itu? Cukup pasang nama depan “Habib” di pamflet, hafal potongan maulid, lalu manggung dengan irama dan goyangan? Di situlah warisan mulia berubah jadi parodi murah.
Hari ini, kita tak cuma melihat gelar "Habib" dipertontonkan, tapi juga diperjualbelikan. Ia jadi komoditas. Ada yang menjadikannya tiket dakwah berbayar, tarif ceramah fantastis, endorse bisnis, bahkan jadi alasan minta amplop.
Gelar keturunan Rasul dijadikan branding spiritual yang bisa dikapitalisasi. Seakan-akan kemuliaan bisa disewa, dan dakwah berubah jadi industri panggung yang penontonnya disuruh patuh tanpa bertanya.
Padahal menjadi habib, sejatinya bukan soal nasab atau sorban. Ia soal warisan akhlak. Rasul tidak mewariskan dinasti, tapi nilai.
Siapa pun bisa menjadi "keturunan Nabi" dalam makna rohani, selama mewarisi kasih sayang, kejujuran, keberanian membela yang tertindas, dan kerendahan hati. Gelar bukan jaminan. Bahkan dalam sejarah, ada banyak pemuka agama yang tak punya darah Quraisy tapi hidupnya penuh cahaya.
Mari kita akhiri pengkultusan palsu dan kembali ke akhlak. Cukuplah kita menilai seseorang dari apa yang ia perjuangkan, bukan dari apa yang ia pakai.
Negeri ini tak butuh banyak habib palsu yang hobi berjoget dan pasang tarif. Yang dibutuhkan: manusia yang jujur, adil, dan tahu malu. Karena kadang, yang tampak suci di luar, justru sedang sibuk menghitung keuntungan di balik mimbar.
#Habib #HabibPalsu #GelarUntukUang #AkhlakNabi #JualGelarAgama #RefleksiIslam #JogedBukanDakwah #HabibTanpaAkhlak #IslamEsensial #NasabVsAkhlak #KangMamanStyle #KapitalisasiAgama
Komentar