"Ini bukan soal pohon pisang. Ini tentang manusia yang terlalu sibuk mempertahankan panggung, bahkan saat tirai sudah harus ditutup."
Pohon pisang tak banyak bicara. Ia tumbuh, memberi buah satu kali, lalu rebah dalam diam. Tak ada protes, tak ada ketakutan kehilangan nama. Ia tahu, waktunya selesai dan justru di situlah keindahannya: memberi ruang bagi tunas yang baru.
Di dunia manusia, keikhlasan semacam ini makin langka. Kita membangun sistem yang terlalu sering bertolak belakang dengan semesta. Mereka yang masa panennya sudah usai, masih saja ingin memetik, menyimpan, bahkan mengklaim tanahnya sendiri. Padahal yang muda bukan tak siap hanya tak diberi jalan.
"Dalam banyak komunitas, yang tua tak mau pergi, yang muda tak bisa maju. Lalu kita salahkan waktu, padahal yang beku adalah ego."
Regenerasi bukan soal kurangnya calon. Tapi soal keberanian untuk memberi tempat. Sayangnya, yang lama sering lupa bahwa mereka pernah diberi tempat juga. Maka pohon pisang pun tampak lebih bijak: selesai, lalu tumbang, bukan karena kalah, tapi karena paham bahwa siklus adalah cara alam menjaga keberlanjutan.
Ironisnya, di banyak ruang, stagnasi malah dirayakan. Jabatan dijaga seperti warisan pusaka. Kursi dipeluk erat seolah tanpa itu, hidup tak lagi berarti. Padahal, panggung tak harus selalu untuk kita. Kadang, yang terbaik yang bisa kita lakukan adalah tahu kapan harus turun.
Udahlah, kita bosan dengan retorika sistem yang ndakik-ndakik. Cukup belajar dari pohon pisang. Diam, tapi mengerti waktunya. Tumbang, tapi mewariskan kehidupan. Tak terkenal, tapi sungguh berarti.
Komentar