Asap Tanpa Cukai: Di Balik Rokok Ilegal yang Membakar Negeri

"Merokok itu hak, katanya. Tapi mengasapi ruang publik seperti cerobong kapal karam, itu hak siapa?"


Indonesia, selain dikenal sebagai negara penghasil tembakau terbesar, juga menghadapi masalah serius terkait peredaran rokok ilegal. Dengan harga yang jauh lebih murah, rokok ilegal sering kali mengelabui konsumen yang tidak sadar akan risiko kesehatan yang mengintai.

Mereka beredar bebas di pasar-pasar, warung-warung, bahkan sekolah-sekolah. Tanpa harus membayar cukai atau pajak, produk ini seolah-olah menjadi pilihan mudah bagi mereka yang ingin merokok dengan harga terjangkau.

Tentu saja, bagi negara, ini adalah kehilangan besar, sebab pada tahun 2023, kerugian yang dialami mencapai Rp97,81 triliun, jumlah yang cukup besar untuk menutupi berbagai sektor yang membutuhkan pembiayaan.

Namun, dampaknya tidak hanya berakhir pada angka ekonomi semata. Rokok ilegal ini memberikan dampak sosial yang jauh lebih merusak. Dengan harga yang jauh lebih murah, rokok ilegal menjadi lebih mudah diakses, terutama oleh anak-anak dan remaja.

Bayangkan saja, kelompok usia 10-18 tahun yang sudah mulai terpapar asap rokok sejak dini. Menurut data, sekitar 7,4% dari perokok aktif di Indonesia berusia 10-18 tahun. Bukan hanya itu, menurut Global Youth Tobacco Survey (GYTS), lebih dari 19% siswa berusia 13-15 tahun telah menjadi perokok. 

Mereka, yang belum sepenuhnya memahami bahaya rokok, hanya tahu bahwa rokok ilegal ini lebih terjangkau, dan sering kali dijual di dekat lingkungan mereka.

Memang, rokok sudah menjadi bagian dari gaya hidup sebagian masyarakat Indonesia. Namun, ketika yang beredar adalah rokok ilegal yang tidak melalui proses pengawasan yang ketat, dampaknya bisa sangat berbahaya.

Bukan hanya soal harga yang lebih murah, rokok ilegal sering kali diproduksi dengan kualitas yang jauh di bawah standar, dan tidak jarang mengandung bahan kimia berbahaya yang lebih banyak daripada rokok legal.

Rokok yang dijual tanpa izin ini bisa saja berisiko lebih tinggi dalam hal kesehatan, seperti gangguan pernapasan, penyakit jantung, hingga kanker. Ini bukan masalah asap, tapi masalah kualitas yang terabaikan demi keuntungan sesaat.

Selain merugikan kesehatan individu, rokok ilegal juga sangat merugikan industri tembakau legal. Para produsen rokok legal yang mematuhi aturan pemerintah, termasuk pembayaran cukai, justru terhambat oleh keberadaan rokok ilegal.

Produk ilegal yang bebas cukai ini bisa dijual dengan harga jauh lebih rendah, sehingga merusak persaingan sehat antar pelaku industri. Hal ini tidak hanya merugikan perekonomian negara, tetapi juga merugikan pekerja dan petani tembakau yang bergantung pada industri legal.

Para petani tembakau, yang seharusnya bisa mendapatkan penghasilan layak dari hasil tanaman mereka, malah harus bersaing dengan produk ilegal yang lebih murah.

Kerugian yang dialami negara akibat rokok ilegal tidak berhenti di sektor cukai dan pajak saja. Negara juga kehilangan potensi pendapatan dari dana bagi hasil cukai tembakau, yang pada tahun 2023 diperkirakan mencapai sekitar Rp5 triliun.

Dana ini tidak hanya digunakan untuk pengembangan sektor kesehatan, tetapi juga untuk membantu petani tembakau dan industri kecil lainnya yang terkait dengan produk tembakau.

Penerimaan yang hilang ini seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan program-program kesejahteraan lainnya. Ironisnya, uang tersebut justru mengalir ke kantong mereka yang tidak berkontribusi pada negara.

Namun, di tengah tantangan besar ini, penegakan hukum di sektor peredaran rokok ilegal tidak mudah. Rokok ilegal tidak hanya diproduksi secara sembunyi-sembunyi, tetapi juga memiliki jaringan distribusi yang sangat terorganisir.

Dengan peredaran yang meluas, baik di pasar tradisional maupun online, pihak berwenang membutuhkan sumber daya yang lebih besar untuk mengawasi dan menindak. Ditambah lagi, banyak rokok ilegal yang dipasarkan dengan menggunakan pita cukai palsu, membuatnya semakin sulit untuk dilacak.

Keberadaan rokok ilegal ini tidak hanya merusak pasar, tetapi juga memperburuk kondisi hukum yang ada, serta mengurangi efektivitas aparat dalam mengendalikan peredaran barang ilegal lainnya.

Rokok ilegal juga menambah beban bagi sistem kesehatan nasional. Pasalnya, selain menyebabkan peningkatan kasus penyakit terkait merokok, rokok ilegal mengandung bahan yang tidak terjamin kualitasnya, yang bisa memperburuk dampak kesehatan.

Berbagai penyakit yang terkait dengan tembakau, seperti penyakit jantung, kanker paru-paru, dan gangguan pernapasan, semakin banyak diderita oleh masyarakat, terutama oleh mereka yang terpapar asap rokok ilegal.

Masalah kesehatan masyarakat ini tentu membutuhkan biaya besar untuk penanggulangannya, yang seharusnya bisa dialokasikan untuk sektor lain yang lebih mendesak jika pemerintah dapat meminimalisasi rokok ilegal.

Pada akhirnya, meskipun sektor tembakau memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan negara, peredaran rokok ilegal yang terus berkembang menjadi masalah serius yang tidak bisa dianggap remeh. 

Pemerintah perlu menggiatkan upaya pemberantasan rokok ilegal dengan melibatkan seluruh lini masyarakat. Tidak hanya melalui pengawasan ketat terhadap produksi dan distribusinya, tetapi juga dengan peningkatan kesadaran publik tentang bahaya rokok ilegal dan pentingnya mendukung produk yang sah dan legal.

Jika tidak, kita hanya akan terjebak dalam lingkaran setan yang semakin memperburuk masalah kesehatan, ekonomi, dan hukum.

Komentar